top of page

Dedikasi Kartini(ku)

  • Writer: dina s
    dina s
  • May 2, 2019
  • 3 min read


Petugas: “Silahkan tanda tangan disini ya bu”

Ibu : “Kenapa jumlahnya tidak sesuai dengan yang saya terima pak?”

Petugas: “Tinggal tanda tangan saja kok repot”

Ibu : “Tidak bisa seperti itu dong pak, itu kan hak rakyat kecil!”


Teriknya sang surya membakar kulit putih milik seorang aktivis kemanusiaan bergamis putih siang itu. Ditemani suami tercintanya, ia mendatangi sebuah kantor lembaga sosial yang akan mendonasikan sejumlah uang untuk kegiatan kemanusiaan yang dicanangkannya beberapa waktu lalu.


Ia pun menginjakkan kedua kakinya ke dalam bangunan tinggi nan elok tempat para pegawai lembaga tersebut mengais rejeki. Disana, beliau disambut dengan hangat oleh para karyawan dan pekerja lainnya. Setelah banyak berdiskusi dengan para pegawai, tibalah proses serah terima donasi. Donasi yang nantinya akan disalurkan kepada rakyat yang kurang mampu.


Tak lama kemudian, salah satu pegawai mengisyaratkan sang ibu untuk segera menandatangani surat pernyataan tanda ia telah menerima sejumlah donasi tersebut. Ketika netranya menyapu barisan-barisan kalimat di dalam surat tersebut, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Lantas ia menanyakannya kepada pegawai tadi. Bukannya mendapatkan penjelasan, ia malah menerima kalimat-kalimat pedas dari para pegawai di kantor tersebut.


Ia pun kembali ke kediamannya bersama butiran-butiran peluh di dahinya. Hatinya pun terasa sangat amat gelisah.


Berbekal keberanian yang sudah ia kumpulkan sejak kemarin malam, esoknya beliau melangkahkan kedua tungkainya menuju Lembaga Pengawas Keuangan di daerahnya. Setelah memberikan beberapa bukti dan penjelasan, ibu yang memiliki 4 orang anak itu pulang dengan hati yang sedikit lega. Meski tak jarang mendapatkan intimidasi dari berbagai pihak, tak pernah terlintas di benaknya untuk menyerah pada ketidakadilan. Ketidakadilan yang selalu merugikan rakyat kecil. Rakyat yang semestinya mendapatkan perhatian lebih, bukan malah dirampas haknya oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab.


Seorang aktivis kemanusiaan di atas adalah ibuku, ibu terhebat yang pernah ada di dalam hidupku. Ibu yang selalu berusaha menegakkan keadilan. Ibu yang tak pernah tenang jika melihat ketidakadilan di hadapannya.




Ibuku memang bukan seorang aktris terkenal, bukan pula seorang pejabat pemerintahan. Ibuku juga bukan pegawai yang bekerja di gedung-gedung pencakar langit ibukota. Akan tetapi, ibuku lebih dari semua itu. Lebih hebat dari orang-orang yang hanya mengedepankan kepentingan pribadinya.


Ibuku adalah role model bagiku. Dari beliaulah aku belajar banyak hal. Mulai dari hal kecil sampai hal-hal besar yang membuatku sangat bersyukur hari ini.


Sejak dulu, aku selalu senang mencoba sesuatu yang baru. Semua itu aku tiru dari ibu yang melahirkanku. Saat menginjak Sekolah Menengah Atas, aku mengikut klub paskibra. Aku tertarik mengikutinya karena ibuku pernah bercerita bahwa ia adalah seorang purna paskibraka. Aku juga terinspirasi untuk menyelami dunia tulis menulis karena ibuku. Dulu, ibuku juga pernah bercerita bahwa karyanya sering dimuat di majalah-majalah islami nasional.


Aku juga menyukai kegiatan kerelawanan karena terinspirasi dari ibuku. Sejak kecil aku sudah sering mengikuti kegiatan sosial yang beliau hadiri. Seperti acara bakti sosial, santunan anak yatim dan pemberdayaan lansia. Bahkan ibuku juga pernah mengunjungi sebuah desa yang mayoritas penduduknya rela berpindah agama demi mendapatkan sekarung beras.


Di samping kesibukannya sebagai seorang aktivis dakwah, ibuku juga menerima banyak amanah di berbagai organisasi. Namun, ibuku tak pernah sekalipun menelantarkan amanah utamanya yaitu amanahnya di rumah. Kami anak-anaknya pun tak pernah merasakan kurangnya perhatian seorang ibu.


Sejak aku menuntut ilmu di sebuah pesantren yang jauh dan mengharuskanku untuk berpisah dengan keluarga, ibuku tak pernah lupa menelepon setiap minggunya. Bahkan jika memiliki kesempatan, ia akan datang langsung ke pesantren untuk menjenguk aku, kakak dan adikku.

Begitulah aku mengagumi ibuku, ibu yang telah membesarkanku hingga saat ini. Ibu yang tak pernah memaksaku untuk mengikuti pilihannya. Ibu yang selalu ada di saat aku butuh maupun aku jatuh. Ibu yang selalu menenangkanku ketika aku diterpa gelisah.


Mungkin tulisan ini adalah hadiah pertama dariku. Memang aku tidak seperti anak-anak lainnya, yang dapat membelikannya barang-barang cantik setiap bulannya. Atau mengirimkannya sejumlah uang dari hasil keringatku sendiri. Tapi, lewat tulisan ini aku akan menyampaikan banyak terimakasihku kepadanya. Walau aku tau, seluruh jasanya tak akan pernah sepadan dengan benda apapun yang kuberikan.


Ummi, maaf atas ketidaksempurnaanku. Maaf atas semua salahku yang disengaja maupun tidak. Maaf atas segala kekhilafan lisanku. Maaf jika anakmu ini belum bisa membuatmu bangga. Maaf bila putrimu belum bisa menjadi seperti yang kau inginkan.


[ made with a lot of loves and tears ]

bottom of page